Analisis Pasal 2, 3 UU Tipikor dan Risiko 'Over-Criminalization' Proyek Konstruksi
Pasal 2 & 3 UU Tipikor dan Pasal 55 KUHP jadi andalan APH jerat proyek konstruksi. Analisis ini menyoroti perdebatan antara sengketa kontrak (perdata) dan tindak pidana korupsi.

Analisa Pasal 2, Pasal 3 UU Tipikor dan Pasal 55 KUHP
Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) hampir selalu menjadi pasal andalan aparat penegak hukum (APH) ketika menangani perkara yang berkaitan dengan proyek-proyek publik, termasuk jasa konstruksi. Kedua pasal ini memiliki rumusan yang dianggap fleksibel sekaligus keras. Pasal 2 menjerat setiap orang yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sementara itu, Pasal 3 menekankan pada adanya penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan dengan tujuan menguntungkan diri atau orang lain yang juga berimplikasi pada kerugian negara. Ancaman pidana dalam kedua pasal tersebut sama-sama berat dan memberi keleluasaan kepada penyidik maupun penuntut untuk menjangkau berbagai bentuk perbuatan.
Selain itu, Pasal 55 KUHP tentang turut serta hampir selalu disertakan dalam dakwaan. Hal ini dilakukan agar tidak hanya pelaku utama yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, melainkan juga mereka yang berperan di belakang layar, baik sebagai penyuruh, pemberi fasilitas, atau turut serta dalam pelaksanaan. Dalam kasus proyek konstruksi, pasal ini kerap digunakan untuk menjerat pejabat pengguna anggaran, konsultan perencana, maupun pihak ketiga yang ikut menikmati keuntungan dari pelaksanaan proyek yang bermasalah.
Persoalan muncul ketika fakta lapangan menunjukkan bahwa banyak permasalahan dalam proyek jasa konstruksi sesungguhnya lebih tepat ditempatkan dalam ranah perdata atau administratif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi. Sengketa kontrak, keterlambatan pekerjaan, atau ketidaksesuaian spesifikasi teknis pada dasarnya adalah wanprestasi yang dapat diselesaikan melalui mekanisme perdata atau sanksi administratif. Namun dalam praktiknya, APH seringkali langsung membawa masalah tersebut ke ranah pidana dengan alasan adanya kerugian negara, meskipun kerugian tersebut masih bersifat potensial atau belum melalui perhitungan audit resmi dari BPK.
Alasan utama APH memilih pasal tipikor adalah karena proyek konstruksi menggunakan dana publik. Begitu ada penyimpangan, maka unsur kerugian negara dianggap otomatis terpenuhi. Di sisi lain, UU Jasa Konstruksi tidak menutup kemungkinan diterapkannya hukum pidana ketika ada unsur penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan yang jelas-jelas bermotif memperkaya diri. Dengan kata lain, mekanisme perdata dan administratif memang ada, tetapi tidak menghalangi penuntutan pidana jika ditemukan bukti adanya tindak pidana. Disinilah letak perdebatan yang memunculkan kritik mengenai kepastian hukum. Banyak pihak menilai penerapan pasal tipikor terhadap persoalan kontrak semata justru berisiko menimbulkan over-criminalization. Pekerjaan yang terlambat atau kesalahan administrasi yang tidak disertai niat memperkaya diri mestinya diselesaikan dengan sanksi ganti rugi atau denda, bukan dengan jerat pidana korupsi.
Dalam sejumlah putusan, Mahkamah Konstitusi pernah menyinggung frasa “dapat merugikan” pada Pasal 2 dan Pasal 3 yang ditafsirkan terlalu luas. Hal ini menyebabkan ruang bagi APH untuk menjerat pelaku menjadi semakin besar, meski kerugian negara belum tentu nyata. Sementara itu, peran BPK sebagai lembaga audit negara mestinya menjadi dasar utama dalam menetapkan kerugian. Namun sering kali APH tetap melangkah dengan menggunakan perhitungan internal atau hasil audit instansi lain. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan tafsir dan memicu keberatan dari pihak tersangka atau terdakwa.
Kesimpulannya, penerapan Pasal 2, Pasal 3 UU Tipikor, dan Pasal 55 KUHP terhadap kasus-kasus jasa konstruksi merupakan pilihan praktis APH untuk menjerat pelaku, karena pasal-pasal ini memberi ruang luas untuk membuktikan adanya perbuatan yang merugikan keuangan negara. Namun dari perspektif kepastian hukum, seharusnya ada garis tegas yang membedakan antara ranah pidana dengan ranah perdata maupun administratif. Sengketa kontrak tidak otomatis menjadi tindak pidana korupsi. Untuk itu, standar penetapan kerugian negara perlu diperkuat dengan audit resmi BPK, dan penyidik harus berhati-hati agar hukum pidana benar-benar digunakan sebagai ultimum remedium, bukan instrumen utama untuk semua masalah dalam proyek publik.