Hukum

Etika Polri Pontianak: Pengamat Desak Penghargaan & Sanksi Tegas

Pengamat Herman Hofi Munawar tekankan etika Polri di Pontianak butuh sistem penghargaan dan sanksi tegas, serta keteladanan pimpinan. Ini kunci disiplin & Presisi

Etika Polri Pontianak: Pengamat Desak Penghargaan & Sanksi Tegas

PONTIANAK – Polresta Pontianak, berkolaborasi dengan Bidpropam Polda Kalbar, baru-baru ini menggelar Pembinaan Etika Profesi Polri. Kegiatan ini sebenarnya adalah bagian dari upaya mereka untuk menguatkan disiplin dan profesionalisme di tubuh kepolisian.

Namun, menurut pandangan pengamat hukum dan kebijakan publik, Dr. Herman Hofi Munawar, pembinaan etika seperti ini tidak bisa hanya sekadar formalitas belaka. Ia menegaskan, yang benar-benar dibutuhkan adalah bagaimana institusi mampu mengimplementasikan sistem penghargaan dan sanksi yang ditegakkan secara tegas dan konsisten.

"Masalah utamanya bukan pada apakah anggota itu paham kode etik atau tidak. Mereka jelas tahu. Yang belum jalan itu adalah bagaimana institusi memberikan *reward* kepada yang berprestasi dan memberikan *punishment* yang setimpal kepada yang melanggar," papar Herman, ketika dimintai pendapatnya soal upaya pembinaan etika di lingkungan Polri, Kamis (26/6/2025).

Dirinya berpendapat, para aparat yang konsisten menjaga integritas dan menunjukkan kinerja positif sudah sepantasnya diberi apresiasi. Bentuknya pun bisa beragam, mulai dari promosi jabatan, kenaikan pangkat luar biasa, penghargaan khusus, hingga kesempatan mengikuti pendidikan atau pelatihan lanjutan.

"Penghargaan itu sangat penting. Ini berfungsi sebagai insentif moral, sekaligus motivasi struktural. Jangan sampai kejadian yang 'nakal' malah naik jabatan, sementara yang taat dan jujur justru terpinggirkan," tegasnya lagi.

Sebaliknya, Herman juga menyoroti pentingnya penegakan hukuman yang adil dan tidak pandang bulu untuk setiap pelanggaran etika. Baginya, kode etik baru akan efektif jika ada keberanian untuk menindak siapa pun yang menyimpang, termasuk jika pelakunya adalah para senior atau pimpinan.

"Hukuman itu harus proporsional dengan jenis pelanggarannya, dan perlu disampaikan secara transparan agar menimbulkan efek jera. Ini bukan cuma soal sanksi, tapi juga edukasi etika bagi seluruh jajaran," tambahnya.

Meski demikian, Herman punya satu poin penting: semua langkah itu akan sia-sia jika tidak dimulai dari pucuk pimpinan. Ia menyorot keteladanan para pemimpin—dari Kapolres, Wakapolres, hingga seluruh Pejabat Utama (PJU)—sebagai fondasi utama untuk membangun kultur organisasi yang sehat dan kuat.

"Jangan hanya anak buah yang terus-menerus ditekan dengan aturan, sementara pimpinannya sendiri dengan seenaknya melanggar etika. Itu justru kontraproduktif," ujarnya lugas.

Bagi Herman, keteladanan adalah bentuk komunikasi yang paling kuat. Ketika seorang pimpinan menunjukkan integritas dalam setiap keputusan dan tindakan, anggota di lapangan akan menjadikannya sebagai acuan perilaku mereka.

"Pimpinan yang transparan dan akuntabel akan menciptakan rasa kepercayaan vertikal di dalam institusi. Tapi kalau justru pimpinannya yang menyimpang, maka moral pasukan bisa runtuh. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin kita masih bisa bicara soal reformasi dan presisi?" pungkasnya kritis.

Dalam konteks program Presisi yang terus digaungkan Polri, Herman menekankan bahwa pembinaan etika bukanlah sekadar tugas Bidpropam semata. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh jajaran, terutama di level pimpinan.

"Etika itu tidak cukup hanya diajarkan, tapi harus dicontohkan," tutupnya.

M. Hasanuddin
M. Hasanuddin

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.

Loading...
Baca Artikel Lain ...