Hardiknas Evaluasi Pendidikan Kalbar, Krisis Guru dan Fasilitas Mengintai
Peringatan Hardiknas 2025 menjadi momentum evaluasi. Pengamat Dr. Herman Hofi Munawar menyoroti krisis guru, minimnya fasilitas di daerah dan tantangan pendidikan kejuruan.

Pontianak - Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025 tidak sekadar menjadi agenda rutin. Lebih dari itu, momen ini seharusnya dimanfaatkan sebagai waktu yang tepat untuk meninjau kembali kondisi pendidikan di berbagai penjuru Indonesia, terutama di Kalimantan Barat (Kalbar).
Ketua Umum Borneo Education Care Kalbar, Dr. Herman Hofi Munawar, menekankan bahwa perayaan Hardiknas harus diikuti dengan tindakan nyata dan terukur dalam menjawab berbagai persoalan yang membelit dunia pendidikan di daerah ini.
“Hardiknas jangan hanya diisi dengan upacara dan lomba-lomba yang sifatnya simbolis. Ini adalah saat yang krusial untuk mengkaji secara jujur apa saja yang sudah dicapai dan apa saja yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pendidikan kita,” ujar Dr. Herman, yang juga dikenal sebagai seorang Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalbar, pada Jumat, 2 Mei 2025.
Menurutnya, setiap kritik dan masukan yang disampaikan oleh masyarakat maupun kalangan akademisi hendaknya diterima sebagai wujud kepedulian terhadap masa depan bangsa.
“Suara-suara itu bukanlah bentuk serangan terhadap institusi atau individu tertentu. Justru melalui kritik yang membangun itulah kita bisa mengidentifikasi akar permasalahan dan mencari solusi yang tepat,” imbuhnya.
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian Dr. Herman adalah persoalan kekurangan tenaga pendidik dan minimnya sarana prasarana pendidikan, terutama di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal). Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kalbar, sejumlah kabupaten menunjukkan rasio guru dan siswa yang jauh dari ideal, bahkan bisa dibilang memprihatinkan.
“Di Kabupaten Sanggau, contohnya, rasio guru dengan siswa mencapai 1 banding 111. Ini jelas merupakan beban kerja yang sangat berat bagi para guru dan tentu saja berdampak pada kualitas pengajaran yang diberikan,” ungkapnya.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak guru yang bertugas di daerah-daerah terpencil harus berjuang dengan masalah keterlambatan pencairan tunjangan khusus. Di Kabupaten Melawi, bahkan pemerintah daerah mencatat adanya defisit anggaran hingga Rp6,2 miliar untuk pembayaran Tunjangan Khusus Guru (TKG) triwulan III dan IV tahun 2024.
“Guru-guru yang sudah berdedikasi mengajar di daerah-daerah sulit bisa merasa putus asa ketika hak-hak mereka tidak terpenuhi. Ini adalah ketidakadilan yang harus segera dicarikan jalan keluarnya,” tegas Dr. Herman.
Di sisi lain, banyak sekolah di wilayah terpencil Kalbar masih beroperasi dengan kondisi yang jauh dari kata layak. Laboratorium, perpustakaan, dan akses internet masih menjadi barang mewah di daerah seperti Kapuas Hulu dan Sintang. Hal ini semakin memperlebar jurang kesenjangan kualitas pendidikan antar wilayah.
“Anak-anak kita di pedalaman harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan harus menyeberangi sungai dan melewati hutan hanya untuk bisa sampai ke sekolah. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa kita abaikan begitu saja,” ujarnya.
Kondisi pendidikan kejuruan di Kalbar juga tak luput dari sorotan. Kurangnya guru produktif serta minimnya peralatan praktik menyebabkan para lulusan SMK tidak memiliki bekal keterampilan yang memadai untuk bersaing di dunia kerja.
“Program link and match antara SMK dan dunia industri hanya akan menjadi slogan kosong jika fasilitas praktik tidak memadai dan jumlah guru dengan keahlian ganda masih sangat terbatas,” kata Dr. Herman.
Kondisi ini turut berkontribusi pada rendahnya capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kalbar masih berada di peringkat ke-29 nasional dengan nilai 68,63 pada tahun 2022, tertinggal jauh dari rata-rata nasional yang mencapai 72,29. Angka putus sekolah pun masih tergolong tinggi, terutama di wilayah-wilayah 3T.
Dr. Herman memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Kalbar yang telah mengalokasikan anggaran untuk perbaikan gedung sekolah serta pengangkatan guru kontrak. Namun, menurutnya, solusi jangka pendek ini tidak akan cukup untuk mengatasi akar permasalahan struktural yang sudah berlangsung lama.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, hingga organisasi masyarakat sipil. Keterlibatan pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dinilai menjadi kunci untuk mempercepat pemerataan akses dan peningkatan kualitas pendidikan.
“Kita tidak bisa lagi bekerja sendiri-sendiri. Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Jika tidak ada intervensi yang sistemik dan kolaboratif, Kalbar akan terus tertinggal dalam hal kualitas sumber daya manusia,” pungkasnya.

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.