Kejati Kalbar Tetapkan Tersangka Korupsi Bandara Ketapang, Pengamat Kritik!
Kejati Kalbar tetapkan 6 tersangka korupsi Bandara Ketapang. Namun, pengamat Dr. Herman Hofi Munawar nilai penetapan ini perlu dikaji ulang, sebut ranah perdata.

PONTIANAK — Penetapan enam tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (Kejati Kalbar) dalam dugaan korupsi proyek pengembangan Bandara Rahadi Usman di Kabupaten Ketapang menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi.
Pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, menilai bahwa langkah Kejati Kalbar perlu dikaji lebih hati-hati. Ia mengatakan, berdasarkan informasi yang berkembang, kerugian negara ditaksir mencapai lebih dari Rp8 miliar, dengan alasan utama penetapan tersangka adalah karena pekerjaan yang dianggap tidak sesuai kontrak baik dari segi volume maupun spesifikasi teknis.
“Pasal yang dikenakan kepada para tersangka adalah Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta jo Pasal 55 KUHP dengan subsider Pasal 3 UU Tipikor. Tapi kita perlu melihat ini dengan lebih jernih. Penegakan hukum bukan sekadar semangat, tapi harus presisi. Kesalahan dalam penerapan hukum bisa berujung pada kecelakaan yuridis dan itu bisa menzalimi orang,” ujar Herman dalam keterangannya kepada media, Rabu, 18 Juni 2025.
Menurutnya, ketidaksesuaian pelaksanaan pekerjaan dengan kontrak lebih tepat dikategorikan sebagai wanprestasi atau pelanggaran perdata. Ia merujuk pada Pasal 1313 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa kontrak adalah perjanjian yang mengikat para pihak dan dapat disesuaikan melalui adendum sebagai bentuk kesepakatan bersama.
“Kalau memang tidak sesuai volume dan spesifikasi teknis dalam adendum, maka itu ranah perdata. Kontraktor tinggal dikenai kewajiban membayar ganti rugi, sesuai Pasal 1243 KUHPerdata. Kenapa harus dipaksakan masuk ke ranah pidana?” kata Herman.
Herman juga mengingatkan bahwa hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium jalan terakhir setelah upaya hukum lain seperti perdata dan administrasi tidak lagi efektif.
“Kalau setiap persoalan pengadaan barang dan jasa (PBJ) langsung ditarik ke ranah pidana, apalagi tipikor, maka kita sedang menihilkan seluruh aturan lex specialis yang mengatur PBJ itu sendiri. Ini berbahaya bagi iklim birokrasi dan dunia usaha,” ujarnya.
Ia pun mendorong kepala daerah di Kalimantan Barat untuk menyuarakan keprihatinan ini kepada Kejaksaan Agung dan Kapolri.
“Ketidakjelasan arah penegakan hukum dalam PBJ harus segera diklarifikasi. Kalau tidak, kita akan terus melihat kontraktor takut bekerja, proyek molor, dan pembangunan mandek,” pungkasnya.

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.