Kritik Status Bandara Supadio: Lebih Banyak Rugi daripada Untung?
Pengamat Hukum Kalbar, Dr. Herman Hofi Munawar, mengkritik upaya mengembalikan status Bandara Supadio menjadi bandara internasional. Ia menilai status tersebut lebih banyak membawa kerugian ekonomi bagi Kalimantan Barat.

PONTIANAK - Upaya untuk mengembalikan status Bandara Supadio sebagai bandara internasional menuai sorotan tajam dari Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar. Alih-alih membawa keuntungan, Dr. Herman justru melihat langkah yang didorong oleh Wakil Gubernur Kalbar dan anggota DPR RI Lasarus ini berpotensi menimbulkan lebih banyak kerugian bagi masyarakat.
"Mungkin sebaiknya kita tahan diri dulu ya. Sampai sekarang, saya belum melihat manfaat yang signifikan dari status internasional Bandara Supadio. Malah, menurut saya, kerugiannya yang lebih terasa," kata Dr. Herman pada Rabu (30/4).
Status internasional Bandara Supadio awalnya diharapkan menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan sektor pariwisata. Namun, Dr. Herman menilai realita di lapangan berkata lain. Ia menyoroti ketidakseimbangan arus penumpang sebagai salah satu indikator tidak efektifnya status internasional tersebut.
"Coba kita lihat datanya. Ternyata, lebih banyak warga Kalbar yang terbang ke luar negeri daripada wisatawan asing yang datang ke sini. Ini artinya, devisa kita justru keluar, bukan masuk. Secara tidak langsung, ini menciptakan defisit ekonomi," tegasnya.
Seharusnya, bandara internasional menjadi pintu gerbang bagi wisatawan mancanegara yang dapat mendorong perekonomian lokal melalui konsumsi di berbagai sektor, mulai dari kuliner dan penginapan hingga kerajinan. Namun, minimnya kunjungan wisatawan asing membuat status internasional bandara ini justru menjadi beban, bukan keuntungan.
Dr. Herman menambahkan, status internasional memaksa pengelola bandara dan pemerintah daerah untuk menyediakan berbagai fasilitas tambahan, seperti imigrasi, terminal internasional, dan sistem keamanan yang berstandar internasional. Investasi besar ini akan menjadi sia-sia jika tidak diimbangi dengan jumlah penumpang asing yang memadai.
"Biayanya jauh lebih besar daripada manfaat yang kita dapatkan. Tidak seimbang. Bandara sepi wisatawan asing, tapi biaya operasionalnya tinggi. Rugi, kan!" ungkapnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya peningkatan yang berarti dalam sektor pariwisata lokal sejak bandara ini menyandang status internasional. Menurutnya, Kalimantan Barat belum memiliki daya tarik wisata yang cukup kuat untuk bersaing di kancah global. Tanpa promosi yang gencar dan infrastruktur pendukung yang memadai, status internasional hanya menjadi sebuah simbol tanpa makna.
"Kalbar ini belum berhasil memposisikan diri sebagai destinasi wisata utama untuk wisatawan asing. Jadi, buat apa kita memaksakan gengsi seperti itu?" tegas Dr. Herman.
Ia juga mengkhawatirkan meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap luar negeri. Kemudahan akses ke luar negeri justru mendorong warga lokal untuk lebih sering berbelanja, berobat, dan berwisata di negara lain, daripada mengeluarkan uang di daerah sendiri. Hal ini dapat melemahkan perekonomian lokal dan memperkuat ketergantungan pada negara lain.
Sebagai solusi alternatif, Dr. Herman menyarankan agar Pemerintah Daerah lebih memprioritaskan pengembangan Pelabuhan Internasional Kijing. Ia menilai pelabuhan ini masih "amburadul" dari sisi tata kelola dan fasilitas.
"Pelabuhan laut itu punya potensi manfaat yang jauh lebih besar daripada bandara. Kalau Pelabuhan Kijing dikelola dengan baik, dia bisa menjadi pesaing berat bagi Pelabuhan Singapura. Bahkan, bisa mengancam eksistensinya," jelasnya.
Dr. Herman meyakini bahwa optimalisasi Pelabuhan Kijing akan membuka peluang ekspor yang besar dan menarik investasi dari berbagai sektor industri. Hal ini akan menciptakan efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, jauh lebih besar daripada sekadar mengejar status simbolis bandara internasional.
"Yang kita butuhkan itu infrastruktur yang berdampak langsung pada ekonomi masyarakat, bukan yang cuma jadi beban anggaran dan sumber kebanggaan yang semu," pungkasnya.

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.