Pemerintah

Mengapa Program Transmigrasi Ditolak Warga Lokal? Analisis Ketimpangan dan Kegagalan

Cari tahu alasan di balik penolakan program transmigrasi oleh warga lokal, mulai dari ketimpangan fasilitas bagi pendatang hingga relokasi kemiskinan. Pahami kritik terhadap kebijakan pemerintah dalam pemerataan pembangunan.

Mengapa Program Transmigrasi Ditolak Warga Lokal? Analisis Ketimpangan dan Kegagalan

Kenapa Warga Ramai Menolak Program Transmigrasi?

Lagi ramai aksi penolakan transmigrasi. Alasan sederhananya, orang lokal "dibiarkan." Sementara pendatang (pindahan dari Jawa) diberikan aneka fasilitas. Alasan lainnya, memindahkan orang miskin ke tempat miskin. Benarkah demikian? Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Pernahkah nuan membayangkan hidup di kampung sendiri, lalu suatu hari datang serombongan orang asing, bukan dari luar negeri, tapi dari pulau seberang, dan mereka tiba-tiba diberi tanah, rumah, lahan garapan, bahkan pembangunan jalan, sekolah, dan puskesmas? Semua oleh negara. Sementara pian, yang sudah tinggal di sana puluhan tahun, bahkan tak punya sertifikat tanah, apalagi fasilitas.

Inilah logika gila transmigrasi yang diwariskan dari zaman ketika pemimpin kita berpikir, “Orang miskin itu sumber masalah di kota, maka pindahkan mereka ke tempat sunyi agar tidak bikin ramai.” Maka berangkatlah mereka, para pahlawan kemiskinan, dikemas dalam truk, dilepas dengan bendera, dan disambut dengan janji-janji.

Tapi janji kepada siapa?

Karena yang menyambut dengan heran adalah warga lokal. Mereka heran bukan karena kedatangan saudara sebangsa, tapi karena negara yang selama ini tuli terhadap keluhan mereka, kini tiba-tiba royal luar biasa kepada pendatang. Negara berubah jadi Sinterklas, rumah papan dibangunkan, lahan dibagikan, pupuk dibantu, jalan dibuka. Sementara anak-anak mereka masih menyeberangi sungai dengan ban dalam untuk sekolah, dan jalan desa tetap becek sejak zaman penjajahan.

Ini bukan soal iri. Ini soal logika ketimpangan yang terang-benderang. Kenapa negara justru lebih peduli pada orang luar dari warga asli? Kenapa petani lokal harus membeli tanah sendiri, tapi transmigran dari Jawa langsung dapat hak garap? Kenapa warga lokal butuh bertahun-tahun mengurus sertifikat, tapi pendatang langsung difasilitasi?

Transmigrasi jadi ladang ketegangan sosial. Bukan karena warganya jahat, tapi karena sistemnya memang sembrono. Pemerintah datang ke daerah yang sudah miskin, lalu mendatangkan kemiskinan baru, dan berharap semuanya akan makmur bersama. Padahal yang terjadi justru kompetisi dalam keterbatasan. Dua kelompok miskin disuruh berebut tanah, pupuk, dan akses air. Siapa yang menang? Tentu yang lebih disayang negara.

Lihat di Kalimantan. Banyak lokasi transmigrasi yang gagal bukan cuma karena tanahnya rawa atau bebatuan, tapi karena warga lokal merasa ditinggalkan dalam pembangunan. Di Rasau Jaya, konflik agraria masih menyala. Di Gorontalo, tanah diberikan tanpa kejelasan hukum. Di Donggala, warga lokal sendiri menolak lokasi transmigrasi karena berbahaya dan tak layak huni. Tapi pemerintah tetap bersikeras. Demi data, demi laporan, demi mimpi pemerataan yang ditulis rapi di dokumen negara.

Lucunya, yang dipindahkan pun sebenarnya adalah orang miskin juga. Jadi ini bukan solusi, tapi hanya relokasi masalah. Kemiskinan yang semula padat di kota, kini didispersikan ke hutan, ke rawa, ke lereng gunung. Ketika gagal, warga ditinggal. Rumah lapuk, jalan hilang, tanah kembali liar. Hanya papan nama lokasi yang masih tegak berdiri, jadi bukti bahwa pernah ada proyek ambisius yang tak pernah selesai.

Transmigrasi, pada akhirnya, bukan cerita tentang membangun kehidupan baru. Tapi tentang memindahkan luka lama ke tempat yang lebih sunyi, agar tak terdengar oleh media. Di balik semua itu, satu pertanyaan terus membekas di kepala warga lokal, “Kenapa kami yang tinggal di sini sejak dulu, tidak pernah dapat perlakuan sebaik itu?”

Transmigrasi hari ini bukan lagi soal pindah tempat, tapi soal pindah masalah. Seolah-olah, kalau orang miskin dipindah ke hutan, maka kemiskinannya ikut menguap. Padahal, kemiskinan bukan soal lokasi, tapi soal logika. Dan selama logika pembangunan masih sama, maka transmigrasi akan tetap menjadi sinetron panjang.

Satu pertanyaan terakhir yang masih menghantui warga, "Kalau tempatnya benar-benar menjanjikan, kenapa bukan pejabat duluan yang pindah?"

#camanewak

Loading...
Baca Artikel Lain ...