Pengamanan Pertemuan Trump-Putin di Alaska
Pertemuan Trump dan Putin di Alaska dijaga super ketat. Pengamanan "matched security" habiskan Rp 2,4 triliun, melibatkan militer, F-22, dan perangkat anti-spionase.

Seperti Apa Super Ketatnya Pengamanan Pertemuan Trump dan Putin?
Di atas salju Alaska yang tenang, dua pria paling heboh dalam sejarah politik modern bertemu. Dialah Donald Trump dan Vladimir Putin. Tapi jangan bayangkan ini pertemuan romantis di igloo, sebab suasana lebih mirip gladiator masuk arena koloseum. Bedanya, colosseum kali ini bernama Joint Base Elmendorf–Richardson (JBER), sebuah benteng modern dengan lebih dari 32.000 personel militer siap memuntahkan teriakan “sir, yes sir!” demi menjaga dua kepala negara yang masing-masing membawa ego seberat meteor.
Pengamanan di Alaska bukan sekadar ketat. Ia adalah orkestra keamanan, simfoni paranoia. Secret Service AS dan FSO Rusia memainkan duet maut bernama matched security. Prinsipnya sederhana tapi absurd, gun-for-gun, body-for-body. Kalau Rusia bawa 10 pengawal dengan pistol, AS bawa 10 pengawal dengan pistol juga. Kalau Rusia geser kursi, AS juga geser kursi. Ini bukan sekadar pengamanan, tapi tarian sinkronisasi militer yang lebih seru dari lomba pacu jalur.
Dan semua itu tentu tidak murah. Biaya pengamanan pertemuan dua pemimpin itu dikirakan USD 150 juta. Dengan kurs saat ini sekitar Rp16.155 per dolar, maka totalnya adalah Rp 2.423.250.000.000 (Dua triliun empat ratus dua puluh tiga miliar dua ratus lima puluh juta Rupiah). Jumlah yang cukup untuk bangun ribuan sekolah baru atau bikin jalan tol melingkar Kalimantan tiga kali. Tapi di Alaska, ia hanya jadi tiket masuk “opera absurd” dua presiden.
Langit Anchorage juga ikut bergetar. Pesawat pengintai E-3C AWACS terbang dengan radar sebesar antena parabola raksasa, siap mendeteksi apa pun dari UFO, burung camar nyasar, sampai drone nakal yang dikirim tetangga iseng. Sementara itu, langit dihiasi flyover gagah, F-22 Raptors, B-2 Stealth Bomber, dan F-35. Ini bukan pamer kekuatan, ini lebih mirip fashion show pesawat tempur, catwalk di langit biru Alaska, dengan Trump dan Putin jadi juri yang tersenyum kecut.
Di darat, ratusan agen Secret Service bermunculan seperti jamur di musim hujan. Mereka mendadak menyerbu Anchorage seminggu sebelum acara, membawa SUV hitam, alat medis darurat, dan, tentu saja, earpiece yang membuat mereka tampak seperti makhluk alien sedang menerima wahyu. Polisi Alaska dan polisi lokal juga ikut sibuk, menutup jalan, memblokir akses, hingga memaksa warga sipil mencari jalur alternatif. Warga sipil sendiri? Mereka tak dikarantina, tapi posisinya jelas, dilarang mendekat, cukup menatap dari kejauhan sambil bertanya-tanya, “Apakah ini rapat diplomatik atau syuting film Marvel?”
Delegasi Rusia lebih kreatif. Mereka pakai ponsel dan laptop sekali pakai alias burner devices, langsung dibuang setelah dipakai. Filosofinya jelas. Dalam era spionase digital, kepercayaan itu barang mewah. Bahkan colokan listrik di Alaska mungkin mereka curigai sebagai alat sadap CIA. Zero trust bukan sekadar teori siber, tapi gaya hidup delegasi Putin. Kalau bisa, mereka bahkan lebih rela berkomunikasi pakai merpati pos ketimbang WiFi Amerika.
Lalu, media? Jangan harap semua bisa masuk. Sistemnya pool coverage. Hanya segelintir media besar yang boleh meliput, seperti CNN, Reuters, Fox News, TASS, RT, BBC, Bloomberg, dan sedikit bonus untuk Anchorage Daily News. Media independen? Maaf, coba lain kali di karnaval rakyat, bukan di panggung opera nuklir. Bahkan jurnalis yang masuk pun hanya boleh meliput momen seremonial: kedatangan, jabat tangan, dan konferensi pers. Bagian negosiasi? Tertutup rapat, seperti resep asli ayam goreng Melda Pontianak.
Apa makna semua ini? Dalam filsafat keamanan, pengamanan bukan sekadar menjaga tubuh, tapi juga menjaga ilusi. Ilusi bahwa dunia masih terkendali, peluru bisa dikalahkan oleh protokol, ego dua pria ini lebih besar dari gunung es Alaska tapi bisa dijinakkan dengan perimeter tiga lapis. Alaska malam itu jadi teater absurd, tempat senjata, radar, dan ego beradu bukan untuk perang, melainkan demi memastikan dua presiden bisa duduk manis tanpa saling tikam… setidaknya untuk sementara.
Di warung kopi ujung gang, Kang Ngopi meneguk robusta panas sambil geleng-geleng kepala. Katanya, “Wak, lihat tu, ribuan tentara, ratusan agen, radar segede piring terbang, pesawat tempur berjejer macam layangan tujuh belasan, semua demi dua orang yang ketemuan. Padahal kalau rakyat kecil mau ketemu, cukup duduk di bangku panjang, pesan kopi satu teko, gorengan lima ribu, masalah selesai. Dunia ini aneh, wak. Makin tinggi pangkat, makin panjang perimeter; makin sederhana hati, makin mudah duduk sebentar dan sepakat. Kita yang baru merayakan HUT RI ke-80 harus belajar. Merdeka itu bukan cuma bebas dari penjajah, tapi juga bebas dari drama berlebihan. Kalau mau jaga negeri, cukup jujur, sederhana, dan gotong royong, nggak perlu sampai pakai AWACS segala.”
#camanewak