Polemik Arang Bakau Kubu Raya: Analisis Hukum, Sosial, dan Solusi Berkelanjutan
Dr. Herman Hofi Munawar membahas kontroversi produksi arang bakau di Kubu Raya, menyoroti sejarah, dampak korporasi, dan perlunya pendekatan adil serta solusi berkelanjutan untuk menjaga ekosistem mangrove dan mata pencarian warga.

KUBU RAYA – Polemik seputar aktivitas pembuatan arang dari kayu bakau (mangrove) di Kecamatan Padang Tikar dan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, kembali menjadi sorotan publik.
Dr. Herman Hofi Munawar, pengamat hukum dan kebijakan publik, menilai persoalan ini perlu disikapi secara arif, adil, dan berbasis pada realitas sosial masyarakat.
Menurutnya, aktivitas dapur arang yang kini menuai kontroversi bukanlah fenomena baru. "Dapur arang ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal selama lebih dari setengah abad. Ia bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga warisan budaya lintas generasi yang telah mengakar dalam struktur sosial dan ekonomi warga," ujar Herman dalam pernyataannya, Jumat, 25 Juli 2025.
Arang bakau yang dihasilkan dari wilayah ini bahkan dikenal memiliki kualitas tinggi dan telah menembus pasar internasional seperti Jepang dan Korea. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat pembuat arang justru mendapat sorotan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem mangrove di kawasan tersebut.
Dr. Herman menilai pendekatan yang menyalahkan masyarakat secara sepihak adalah keliru. "Menyalahkan masyarakat atas kerusakan ekosistem mangrove tanpa memahami konteks historis, sosial, dan ekonomi mereka adalah tindakan yang tidak adil. Itu mengabaikan realitas kompleks di lapangan dan mencerminkan kebijakan yang kurang arif," tegasnya.
Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa kerusakan hutan mangrove di kawasan ini telah mencapai 35 hingga 43 persen. Meski aktivitas dapur arang kerap disalahkan, Herman menekankan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang melakukan konversi lahan untuk kepentingan infrastruktur, perkebunan, dan industri komersial lainnya justru memiliki andil besar dalam kerusakan tersebut.
“Skala eksploitasi oleh korporasi jauh lebih besar, dan sering kali tidak diiringi dengan pengelolaan yang bertanggung jawab. Sementara masyarakat lokal hanya memanfaatkan kayu dalam jumlah terbatas untuk kelangsungan hidup,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya peran mangrove sebagai penyangga ekosistem pesisir: mencegah abrasi, menyerap karbon, dan menjaga keseimbangan lingkungan. Menurutnya, jika mangrove di wilayah ini rusak total, maka dapat dipastikan perkebunan, pertanian, dan hasil tangkapan nelayan masyarakat setempat juga akan musnah.
Dalam konteks ini, Dr. Herman menyayangkan pernyataan Bupati Kubu Raya yang seolah menyudutkan aparat penegak hukum terkait upaya pelestarian mangrove.
“Menuding aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugas menjaga kelestarian lingkungan adalah sikap yang kontra-produktif. Ini justru bisa menciptakan kesan negatif dan melemahkan sinergi antar lembaga," ujarnya.
Ia mendorong agar Bupati Kubu Raya dan jajaran pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret dan terukur. Pendekatan represif seperti razia atau penghentian mendadak aktivitas dapur arang tanpa solusi alternatif dinilai tidak manusiawi dan bisa memicu konflik sosial.
"Penegakan hukum yang berkeadilan harus didasarkan pada dialog, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Jangan buru-buru menghukum, tetapi carikan jalan tengah yang mampu menjaga kelestarian mangrove sambil mempertahankan mata pencarian warga,” tambahnya.
Herman mengusulkan agar pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat duduk bersama untuk merumuskan kebijakan transisi yang adil, seperti penerapan sistem tebang-pilih, pemulihan hutan mangrove berbasis partisipasi warga, dan diversifikasi ekonomi lokal.
"Solusi jangka panjang yang berkeadilan adalah solusi yang tidak mempertentangkan lingkungan dan kesejahteraan. Keduanya bisa berjalan bersama jika ada itikad baik dari semua pihak,” pungkas Herman.

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.