Sengketa Pulau Pengekek: Kalbar Lawan Kepri, Mendagri Tito Dituding Langgar Aturan
Polemik status Pulau Pengekek Besar dan Kecil kembali mencuat: dari Mempawah, Kalbar, kini terdaftar di Kepri. Pengamat Herman Hofi Munawar keras kritik Mendagri Tito, menuding pelanggaran UU & potensi kerugian besar bagi perikanan dan pariwisata lokal. Pahami duduk perkaranya!

PONTIANAK – Sebuah isu lama kembali menyeruak ke permukaan: polemik mengenai status administratif dua pulau kecil, yaitu Pulau Pengekek Besar dan Pulau Pengekek Kecil. Kedua pulau ini tiba-tiba tercatat sebagai bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Padahal, sebelumnya, dokumen-dokumen resmi justru jelas-jelas menyatakan bahwa keduanya adalah bagian integral dari Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Perubahan status ini sontak memicu gelombang protes dari berbagai kalangan. Salah satu yang paling lantang menyuarakan kritiknya adalah pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar. Baginya, kebijakan semacam ini tak lain adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang secara fundamental mencederai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
“Mendagri Tito Karnavian harus dicopot!” tegas Herman kepada awak media pada Kamis, 3 Juli 2025. “Ia ini sudah berulang kali menciptakan kegaduhan di tingkat nasional. Dulu ada kisruh pemindahan wilayah administratif dari Aceh ke Sumatra Utara, sekarang ia kembali membuat gaduh dengan memindahkan dua pulau milik Kalbar ke Kepri.”
Menurut Herman, akar permasalahan polemik ini terletak pada Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang mengatur tentang Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Ia bahkan menuding bahwa implementasi aturan tersebut secara terang-terangan menabrak berbagai regulasi lain dan sama sekali mengabaikan asas legalitas yang seharusnya dijunjung tinggi.
“Pemindahan wilayah administratif itu seharusnya berpatokan pada UU No. 23 Tahun 2014, yang kemudian diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015. Undang-undang itu jelas sekali menyebutkan bahwa perubahan batas wilayah wajib mendapatkan persetujuan DPRD, harus mempertimbangkan aspek historis dan geografis, dan pastinya melalui konsultasi publik. Nah, semua proses penting ini, diabaikan begitu saja.”
Selain dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, keputusan ini juga dinilai melanggar UU No. 25 Tahun 2004, yang mengatur tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Lucunya, dalam undang-undang pembentukan Kepri itu sendiri, tidak ada satu pun pasal yang mencantumkan bahwa Pulau Pengekek Besar dan Pulau Pengekek Kecil termasuk dalam wilayahnya.
“Bahkan, Permendagri No. 137 Tahun 2017 saja masih secara gamblang mencatat kedua pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Mempawah. Jadi, ini jelas bukan hanya masalah teknis administrasi biasa, tapi ada pelanggaran aturan yang sangat serius di sini,” imbuh Herman.
Tidak hanya bermasalah secara hukum, kebijakan ini juga diperkirakan akan menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat Kalimantan Barat, terutama bagi Kabupaten Mempawah. Seluruh potensi perikanan dan pariwisata yang tadinya berada di sekitar dua pulau itu kini berpindah ke yurisdiksi Kepri. Artinya, akses nelayan lokal akan terbatas dan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun akan terkikis habis.
“Coba bayangkan, masyarakat Mempawah tiba-tiba kehilangan area tangkap ikan dan objek-objek wisata penting mereka. Ini bukan cuma kerugian secara ekonomi, tapi juga terasa seperti penghapusan sebagian dari sejarah dan budaya kami,” tegas Herman.
Oleh karena itu, Herman mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Pemerintah Kabupaten Mempawah, serta DPRD setempat agar segera menempuh jalur hukum dan politik. Tujuannya jelas, menuntut kejelasan dan pengembalian status kedua pulau tersebut.
“Ini saatnya kita melawan,” ujarnya. “Kita tidak boleh hanya diam melihat adanya pelanggaran yang terang-terangan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.”

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.