Hukum

Sengketa Tanah Berulang: Pengamat Sorot Kelalaian Sistemik BPN!

Pengamat Dr. Herman Hofi nilai sengketa tanah & tumpang tindih sertifikat akibat kelalaian BPN. Ia tuntut BPN berbenah total untuk cegah konflik agraria.

Sengketa Tanah Berulang: Pengamat Sorot Kelalaian Sistemik BPN!

PONTIANAK — Sengketa pertanahan yang terus berulang di berbagai daerah dinilai sebagai buah dari kelalaian sistemik dalam tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN). 

Hal ini disampaikan oleh Dr. Herman Hofi Munawar, pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, dalam sebuah pernyataan yang menyoroti akar persoalan di balik maraknya kasus tumpang tindih sertifikat.

“Kalau BPN menjalankan semua tahapan penerbitan sertifikat tanah secara prosedural dan akurat, kemungkinan terjadinya sengketa tanah, sertifikat ganda, atau konflik batas lahan itu sangat kecil,” ujar Herman, Kamis, 19 Juni 2025

Menurut dia, prosedur penerbitan sertifikat tanah sudah diatur secara jelas melalui regulasi yang mewajibkan petugas BPN untuk melakukan serangkaian proses validasi, mulai dari pengecekan riwayat tanah, pengukuran batas, hingga verifikasi dokumen hukum.

“Apakah petugas BPN sudah benar-benar melakukan pengecekan riwayat tanah? Itu pertanyaan mendasarnya. Karena dari situ bisa diketahui apakah tanah itu pernah berpindah tangan, bersengketa, atau masih berada dalam hak pihak lain,” jelas Herman.

Ia menambahkan, proses pengukuran tanah merupakan tahap krusial yang tak boleh dianggap remeh. Ketelitian dalam menentukan batas fisik sangat menentukan keabsahan sertifikat. Ketiadaan saksi batas dalam proses pengukuran, kata dia, berisiko menimbulkan klaim tumpang tindih antar pemilik lahan.

Masalah lain yang kerap ditemukan, lanjut Herman, adalah lemahnya proses verifikasi dokumen oleh petugas BPN. Ia menuding ada praktik asal-asalan dalam memeriksa akta jual-beli, dokumen waris, hingga identitas para pihak.

“Kalau petugas tidak cermat, sangat mungkin dokumen yang tidak sah atau bahkan palsu bisa lolos. Di sini sering muncul dugaan permainan antara oknum petugas BPN dengan pemohon sertifikat. Apalagi kalau pemohon itu punya akses kekuasaan atau ekonomi,” ujarnya.

Herman juga menyoroti minimnya respons BPN terhadap keberatan publik dalam tahapan pengumuman permohonan sertifikat. Ia menyebut, banyak aduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti secara serius.

Tak hanya itu, lemahnya integrasi data pertanahan juga menjadi masalah. Sistem informasi pertanahan yang dimiliki BPN seharusnya mampu mendeteksi kejanggalan atau potensi tumpang tindih sejak dini. Namun, menurut Herman, kerap ditemukan data yang hilang, tidak lengkap, atau dimanipulasi.

“Warkah atau berkas tanah yang semestinya disimpan dengan rapi, kadang justru hilang atau tidak bisa ditelusuri. Bisa jadi karena kelalaian, tapi juga tak menutup kemungkinan karena ada pihak yang sengaja memanipulasi,” kata Herman.

Ia menyayangkan sikap petugas BPN yang cenderung lepas tangan saat masyarakat mengadukan permasalahan sengketa tanah yang bersumber dari produk sertifikat BPN sendiri.

“Yang paling menyakitkan, ketika masyarakat mengadu, jawaban dari petugas BPN seringkali hanya: ‘Gugat saja ke pengadilan.’ Padahal, masalah ini bisa dicegah sejak awal jika BPN bekerja sesuai prosedur,” ujarnya.

Herman menegaskan, tanggung jawab moral dan hukum atas maraknya konflik agraria tidak bisa hanya dibebankan pada masyarakat. BPN, sebagai lembaga negara yang mengeluarkan sertifikat, harus bertanggung jawab penuh dan berbenah secara menyeluruh.

M. Hasanuddin
M. Hasanuddin

Hadin adalah reporter berpengalaman di berita hukum dan politik.

Loading...
Baca Artikel Lain ...